PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Penegakan Hukum Pidana merupakan Ultimum Remedium artinya upaya hukum terakhir karena tujuanya adalah untuk memproses secara Hukum Pidana, dan apabila dapat dibuktikan melalui alat-alat bukti dan barang bukti, maka pelaku apakah perorangan atau badan hukum (Korporasi) dihukum dengan penjara atau denda sesuai dragasi perbuatanya. Penegakan Hukum Pidana dimaksudkan untuk memberikan efek jera (Deterrant Faktor) dapat dipandang efektif. Dengan demikian penerapan Hukum Pidana dalam prakteknya benar-benar secara selektif sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan yang dilanggar terlebih-lebih pada gangguan lingkungan hidup yang dalam hal ini dampak kebakaran hutan atau lahan.
Proses penegakan hukum sampai dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku perusak lingkungan hidup, perusak kehutanan dan membuka lahan dengan membakar. Ditinjau dari aspek hubungan antara Negara dengan masyarakat mempunyai tujuan yang jelas yakni menyelamatkan masyarakat (Social Defence) agar tidak menjadi pelaku perusak lingkungan hidup, perusak hutan/membuka lahan dengan membakar. Perbuatan yang dilarang (Verbodeen) harus dihindarkan terhadap lingkungan hidup tetapi masyarakat diharuskan atau mempunyai kwajiban (Gebodeen) menjaga dan memberikan perlindungan untuk pelestarian lingkungan hidup agar bermanfaat kepada masyarakat luas.
Hukum Lingkungan (Mileuerecht) adalah hukum yang berkaitan dengan lingkungan alam (Natuurlijk Mileu) dalam arti yang seluas-luasnya :
1. Hukum Tata Lingkungan;
2. Hukum Perlindungan Lingkungan;
3. Hukum Kesehatan Lingkungan;
4. Hukum Pencemaran Lingkungan;
5. Hukum Sengketa / Perkara lingkungan.
Tindak Pidana Lingkungan Hidup, ditinjau dari Delict, maka harus didasarkan ada atau tidaknya unsur kesalahan (Leability Without Fault) sebagaimana telah ada undang-undang yang telah mengatur terlebih dahulu mengenai larangan yang berdampak kepada pencemaran dengan pengerusakan lingkungan hidup.
Pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh perorangan atau Badan Hukum (Korporasi) mempunyai sifat :
1. Kejahatan Luar Biasa;
Disebut sifat kejahatan luar biasa oleh karena berdampak merugikan negara yang berdampak merugikan kesehatan masyarakat secara luas, kemudian mengganggu perekonomian yang bersifat nasional seperti tranportasi udara.
2. Penanganan oleh penegak hukum terhadap pelanggaran harus serius.
Bahwa instansi yang terkait bersama masyarakat harus secara bersama-sama mencegah terjadinya pembakaran (Preventif lebih bagus dari Represif).
Berkaitan dengan penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memperkenalkan sebagai berikut :
1. Ancaman Hukuman Maksimum dan Hukuman Minimum;
2. Perluasan Alat Bukti;
3. Pemidanaan bagi pelanggar jenis perbuatan lingkungan hidup sebagai (Ultimatum Remedium) sebagai upaya terakhir, setelah penerapan Hukum Administrasi dianggap tidak berhasil;
4. Keterpaduan Penegak Hukum Pidana.
Adapun Tindak Pidana yang menyebabkan atau menimbulkan kebakaran hutan atau lahan dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Ketentuan Pidana yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana);
2. Ketentuan Pidana yang diatur diluar KUHP (Peraturan perundang-undangan tertentu).
Apabila dilakukan pembakaran hutan, lahan dan kebun maka dapat diterapkan Hukum Pidana sebagai berikut :
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
- dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
- dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
- dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
Kejahatan ini adalah suatu” delik dolus”, artinya harus dilakukan dengan sengaja” jika tidak dilakukan dengan sengaja (karena salahnya), maka orang itu dihukum menurut Pasal 188” delik Culpa”.
Supaya dapat dihukum, maka perbuatan-perbuatan itu harus dapat mendatangkan : “ Bahaya umum bagi barang, bahaya maut atau bahaya maut bagi orang lain dan ada orang mati”.
Bahaya umum bagi barang” artinya bahaya bagi barang-barang kepunyaan dua orang atau lebih, atau sejumlah banyak barang kepunyaan seseorang. Peristiwa yang banyak terjadi dalam Peradilan di Indonesia dan dapat dikenakan Pasal ini ialah, bahwa untuk membalas dendam, orang sengaja membakar rumah orang lain dan ada yang rumah itu berdiri sendiri.
Kebakaran semacam ini biasanya menimbulkan bahaya bagi rumah itu sendiri dan bagi barang-barang banyak perabotan rumah yang ada didalamnya.banyak pula terjadi pembakaran rumah-rumah didesa-desa oleh gerombolan-gerombolan pengacau yang terlarang oleh Negara.
Barang-barang yang dibakar itu tidak perlu kepunyaan orang lain, mungkin kepunyaan tersangka sendiri : “yang penting ialah, bahwa kebakaran itu harus dapat menimbulkan bahaya umum bagi barang dsb.
Tentang “membakar barang tetap kepunyaan sendiri yang tidak menimbulkan bahaya umum” diancam hukuman dalam Pasal 496 : sedang pada Pasal 382 tentang” membakar barang yang masuk asuransi”.
II. Ketentuan –Ketentuan Penegakan Hukum Pidana Tentang Pembakaran Hutan Dan Lahan Diluar KUHP.
A. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) :
Pasal 108 berbunyi “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).”
Perbuatan-perbuatan yang dilarang :
- Perbuatan yang dilarang dalam Pasal ini adalah melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar karena akan menggangu tidak hanya lahan yang dibakar tetapi juga ekosistem didalamnya.
- Pembukaan lahan dengan cara membakar disatu sisi merupakan cara kerusakan lingkungan.
- Suatu Korporate yang mendapatkan ijin menanam sawit diatas tanah yang atasnya masih berupa semak belukar, tidak jarang membakar lahan tersebut karena itu adalah cara efektif dan murah.
- Kebakaran lahan di wilayah Kalbar beberapa waktu lalu disinyalir merupakan ulah Korporasi yang tidak mau menanggung dan mengeluarkan biaya yang banyak.
- Akibatnya lingkungan menjadi rusak, air dan udara menjadi tercemar dan manusia terganggu kesehatanya.
PERATURAN TERKAIT LAINYA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (UUPPLH) :
1. PP No 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 209 Tahun 2011 Tentang Tim Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu.
3. Nota Kesepahaman Antara Kementerian Lingkungan Hidup Dan Mahkamah Agung Pada Tanggal 18 Juni 2010 Untuk Peningkatan Kapasitas Hakim Agung, Hakim Pengadilan Tinggi, Hakim Pengadilan Negeri, Dan Hakim Ptun Terkait Penanganan Kasus Lingkungan Hidup.
4. Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama Antara Menteri Lingkungan Hidup, Kapolri, Dan Jaksa Agung Pada Tanggal 26 Juli 2011 Terkait Penegakan Hukum Terpadu (One Roof Enforcement System).
5. Nota Kesepahaman Bersama Antara Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, Jaksa Agung, Kapolri, Dan Kepala Pusat Penelusuran Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Pada Tanggal 20 Desember 2011 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup Dengan Pendekatan Multidoor.
6. Keputusan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No 134 / KMA/SK/ IX/2011 Tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, pada tanggal 5 September 2011.
B. UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
1. Pasal 78 ayat 3 Jo Pasal 50 Ayat (3) huruf d.
”barang siapa dengan sengaja membakar hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 milyar”.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang :
a. Perbuatan membakar hutan secara sengaja pada dasarnya merupakan perbuatan terlarang karena akan menyebabkan kerusakan, tidak hanya hutan yang menjadi Objek pembakaran tetapi juga lingkungan disekitarnya.
b. Pembakaran Hutan secara terbatas, memungkinkan diperbolehkan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakan antara lain:
- Pengendalian Kebakaran Hutan;
- Pembasmian hama dan penyakit;
- Pembinaan habitat tumbuhan dan satwa.
c. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat ijin dari pejabat yang berwenang dan eksitensinya menjadi syarat boleh tidaknya pembakaran lahan.
d. Disamping itu juga harus ada ijin agar pembakar hutan menjadi perbuatan yang sah, namun delik diatas hemat penulis mengandung masalah karena ancaman sanksi yang dijatuhkan kepada pembuat delik yang terbukti melakukan pembakaran hutan, terlepas dari kualitas dan kuantitas hutan yang dibakar serta akibat yang ditimbulkanya.
- Sanksi Pidana bagi pembuat delik yang membakar hutan yang menimbulkan akibat yang luar biasa tidak hanya pada hutan yang dibakar tetapi juga kerusakan lingkungan dan makluk hidup lainya dengan pembakaran hutan yang tidak menimbulkan akibat tadi.
2. Pasal 78 Ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf d.
“Barang siapa karena kelalaianya membakar hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1, 5 Milyar”.
- Apabila dikaji dari esensi delik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf d, dengan esensi delik sebagaimana dimaksud Pasal 78 Ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf d, terletak pada kesalahan pembuat delik berupa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
- Membakar hutan karena lalai.
Karena gradasi kealpaan lebih ringan dibandingkan dengan gradasi kesengajaan, menjadi logis jika ancaman Pidana dalam Pasal 78 ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf d.
3. Pasal 78 ayat (11) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf l sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedalam kawasan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 1 Milyar”.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang :
- Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan.
- Delik Pasal 78 ayat (11) dirumuskan sebagai delik formil karena adanya kata “ dapat” sebelum frase “ menyebabkan kebakaran” dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedalam kawasan hutan.
- Kata “dapat” tidak mengharuskan pembuktian adanya akibat yang dilarang oleh hukum berupa “ kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan” yang disebabkan oleh perbuatan pelaku delik yang membuang benda-benda kedalam kawasan hutan.
PERATURAN TERKAIT LAINYA DENGAN UU NO 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN :
1. PP No 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian kerusakan dan / atau pencemaran kebakaran hutan dan lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.
2. PP No 45 Tahun 2004 Tentang perlindungan hutan.
3. Inpres No 16 Tahun 2011 tentang peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
4. Inpres No 8 Tahun 2015 Tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola dihutan alam primer dan gambut.
C. UU No 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.
Pasal 48 (1) setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 10 (sepuluh) milyar; (2) jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak 15 (lima belas) milyar rupiah.
- Delik dalam Pasal ini merupakan delik materiil karena adanya frase yang berakibat, sehingga titik tekanya pada pembuktian hubungan kausalitas antara”membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran, dengan pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
- Sekalipun fakta persidangan misalnya menyimpulkan bahwa Terdakwa telah membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran, namun hal itu tidak secara otomatis dinyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan Tindak Pidana dalam Pasal 48 (1).
- Pasal ini hanya terbukti jika perbuatan terdakwa itu menimbulkan akibat berupa fungsi lingkungan menjadi rusak atau tercemar.
- Perbuatan”membuka lahan”sendiri harus diartikan bahwa lahan tersebut sebelumnya melarang tidak diperuntukan untuk lahan perkebunan, tetapi kemudian fungsinya beralih dengan cara pembakaran.
- Bisa saja lahan tersebut sebelumnya adalah hutan belantara, tetapi kemudian dirubah fungsinya menjadi lahan perkebunan dengan cara pembakaran.
- Sedangkan makna” mengolah lahan” bahwa lahan tersebut memang diperuntukan untuk lahan perkebunan dan sebelumnya telah ditanami dengan tanaman atau tumbuh-tumbuhan tertentu.
- Karena sudah dipakai dengan pemilik/ pemakai lahan tersebut ingin menanam tanaman atau tumbuhan yang baru, maka dibakarlah lahan tersebut agar biaya yang dikeluarkan tidak banyak.
- Tentu saja arti”lahan” disini harus diartikan sebagai lahan untuk perkebunan, karena jika tidak maka perbuatan Terdakwa tidak hanya dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perkebunan tetapi juga Tindak Pidana Kehutanan.
- Dengan kata lain, melalui tafsir sistematis dengan tafsir restruktif, makna lahan adalah hanya lahan terkait lahan perkebunan, karena konteks pembahasanya dibawah naungan pembahas UU Perkebunan.
Pasal 49 ayat (1) Jo Pasal 26.
(1) “Setiap orang yang karena kelalaianya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 Milyar.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5 Milyar.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang antara lain :
- Unsur subjektif delik dalam Pasal 49 Jo Pasal 26, merupakan unsur kelalaian membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
- Unsur kelalaian seharusnya diukur dalam membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar, diketahui karena ceroboh, kurang hati-hati atau teledor.
- Pasal 49 ayat (2), mengatur mengenai larangan melakukan pembukaan dan/atau pengolahan lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang berakibat pada meninggalnya seseorang atau luka berat.
Dengan demikian penerapan sanksi pidana terhadap UU Perkebunan mengenal 2 bentuk sanksi pidana yaitu : pidana penjara dan pidana denda yang dirumuskan secara kumulatif, yang dijatuhkan baik kepada subjek delik orang perseorangan maupun korporasi.
PERATURAN TERKAIT LAINYA DENGAN UU NO 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN :
Ø Peraturan Menteri pertanian No 14 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk budidaya kelapa sawit.
Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Oleh Badan Hukum (Korporasi)
1. Badan hukum (Korporasi);
2. Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan;
3. Mereka yang bertindak sebagai pimpinan melakukan tindakan yang dilarang oleh UU;
Ada Tiga Parameter Menurut Undang-Undang Tertentu Yang Dapat Digunakan Untuk Mempidana Korporasi :
1. UU telah mengatur dengan tegas bahwa Subjek Tindak Pidanya termasuk Korporasi;
2. Korporasi dapat disertakan sebagai Tersangka jika penyidik telah menentukan bahwa Tersangka personalnya ialah Direktur atau Manajer yang menjadi Directing Mind and will dari Korporasi;
3. Seseorang yang jabatanya Direktur/ manajer, pihak lain yang dianggap mewakili Korporasi ialah mereka yang mengemban tanggung jawab pokok dalam Korporasi;
D. UU No 26 Tahun 2014 Tentang Pengesahan ASEAN AGREEMENT ON TRANS BOUNDARY HAZE POLLUTION (Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas).
E. UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
F. Pencegahan
1. Pencegahan untuk yang membuka lahan maka pihak perusahaan atau Korporasi mampu menjaga tidak membakar dalam membuka lahan oleh karena tertera didalam surat ijin harus mempunyai alat lengkap dan tanpa membakar.
Peraturan Menteri Pertanian No 26/Permentan/ot.140/2/2007 tentang Pedoman Perijinan Usaha Perkebunan, juga mengatur tidak membenarkan adanya pembukaan lahan dengan cara pembakaran.
2. Apabila surat ijin korporasi /perusahaan dilanggar maka akan dibekukan ijinya bahkan secara administrasi bisa dicabut ijinya.
3. Pelaku usaha / Korporasi jika melanggar ijin maka ancaman sanksi administrasi, denda maupun penjara akan dilaksanakan.
G. Penegakan Hukum Oleh Polri Terhadap Pelaku Pembakaran Melalui Proses Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Lahan/Kebun.
Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Perkebunan dilaksanakan Penyidik Polri melalui tahapan sebagai berikut :
1. Tahap Penyelidikan.
Berupa kegiatan pengumpulan bukti-bukti permulaan untuk membuat terangnya perkara dan digunakan sebagai dasar pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP) atau dengan istilah Tri Enggle System yaitu adanya korban, saksi-saksi/barang bukti dan pelaku.
2. Tahap Penindakan / Penyidikan.
Tahap penindakan/Penyidikan meliputi :
1. pemanggilan setiap orang/pejabat yang diperlukan seperti Direktur/ manajer/pemimpin perusahaan (Korporasi);
2. penangkapan dan penahanan (bila diperlukan);
3. penggeledahan serta;
4. penyitaan untuk mendapatkan barang bukti :
a. Instrumen Delicti yakni alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan ;
b. Corpora Delicti yaitu barang-barang yang diperoleh dari hasil kejahatan,
5. penyegelan atau Police Line tempat-tempat tertentu atau alat-alat tertentu yang berkaitan dengan pengerusakan lingkungan pencemaran lingkungan yang menggagu kesehatan lingkungan
3. Tahap Pemeriksaan.
Meliputi :
- Pemeriksaan Saksi-saksi;
- Pemeriksaan Saksi Ahli/Keterangan Ahli;
- Pemeriksaan Laboratorium;
- Pemeriksaan Barang Bukti (Istrumen Delicti dan Corpora delicti)
- Pemeriksaan Tersangka.
4. Tahap Penyelesaian Dan Penyerahan Perkara Kepada Jaksa Penuntut Umum.
Proses penyidikan oleh Polri berdasarkan KUHAP,Perkap No 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan, dan peraturan perundang-undangan lainya yang memberikan kewenangan penyidik kepada Polri.
H. Peranan Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korporasi (Liability Crime)
Berdasarkan UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Sebagaimana ditentukan dalam :
Pasal 1 Ayat 5 : Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Pasal 92 Ayat (1) : Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Pasal 92 Ayat (2) : Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Dengan demikian secara jelas dan tegas bahwa apabila terjadi pelanggaran berupa pembakaran hutan/lahan/kebun, maka subjek hukum yang diminta pertanggungjawabanya adalah Direksi sebagaimana tercantum dalam struktur perusahaan atau perseroan.
Peranan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana Korporasi (Liability Crime) dilihat dari peranya terdiri dari :
1. Pelaku (Pleger)
2. Yang menyuruh melakukan atau aktor intelektualis (doen plegen/doun pleger)
3. Yang turut serta (Mede Pleger)
4. Penganjur, menggerakan (Uitloker/Uitlokken, Dolus Malus)
Dengan demikian sesuai peran seseorang atau korporasi perananya dalam melakukan tindak pidana lingkungan hidup, hutan,lahan/kebun harus benar-benar sesuai fakta perbuatan tindak pidana melalui pembuktian (alat bukti didukung dengan barang bukti)
Pelaku pembakaran hutan atau lahan yang menimbulkan pencemaran lingkungan hidup pelaku pembakaran apakah perorangan atau Badan hukum/perseroan dapat dituntut pertanggungjawabanya secara pidana berdasarkan perbuatanya sebagai berikut :
1. Perbuatan pelaku sangat menggagu dan merugikan bangsa dan negara;
2. Mengganggu perekonomian masyarakat secara umum;
3. Mengganggu/menyiksa kesehatan masyarakat seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA);
4. Mengganggu Tranportasi penerbangan maupun transportasi darat.
Demikian untuk menjadi perhatian dan untuk menambah wawasan.
0 komentar: